Welcome to my journal :) My fantasy land that full filled with my randomness.

Friday, July 19, 2013

The Brightest Star (Oneshot)



Title                       : The Brightest Star
Author                  : Yuechara15
Cast                       : Kim Jong In (Kai) EXO, Kang Yoo Riem (OC)
Genre                   : Friendship, Romance
Rating                   : PG-13
Words                   : 4510
Disclaimer           : I own the story line and my OC.
Summary             :  You are the brightest star for me, always.

A/N  : Another re-make of my old story. The old one can be found on the fanfiction index. 

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Beijing, 2007
*Yoo Riem POV*
“Kau akan pergi sekarang?”
                Sebuah pertanyaan itu dilontarkan kepadaku, sementara aku hanya bisa tersenyum membalasnya. Tanpa perlu menjawab pertanyaannya dengan kalimat.
                “Shen Bao Yue, apakah kau tidak ingin mengucapkan beberapa salam perpisahan kepada teman-temanmu?” Tanya Pak Hui, wali kelasku.
                Teman?  Sebelah alis-ku terangkat ketika mendengar kata ‘teman’ yang Pak Hui katakan barusan. Ya, andai saja aku punya teman.

“Saya rasa tidak perlu.” Jawabku, singkat dan berusaha disertai dengan senyuman.
                Ia menatapku dengan pandangan heran beberapa detik, sementara aku hanya diam dan tidak mengucapkan sesuatu lagi. Lalu dalam hitungan detik Pak Hui sudah menandatangani selembar kertas yang kuberikan padanya tadi, lalu ia menyerahkannya kepadaku. Aku pun menerimanya, selembar kertas mengenai kepindahanku.
                Fei chang gan xie ni, Hui-Wang.”
                Bu keqi.”
                Lalu, aku melangkah keluar dari ruang guru itu. Dan menyadari bahwa ini adalah menit-menit terakhir aku disini, di gedung sekolah GuangQuMei, dan Beijing.
               

Seoul, 2007
Sangwon Middle School
                Hari pertama sekolah sudah selesai, ditandai dengan bunyi bel panjang yang berarti jam belajar telah selesai. Tidak ada yang special, hanya hari-hari sekolah biasa dimana aku hanya duduk sendirian dan memberi senyum kepada setiap orang yang menyapaku dan berusaha ramah padaku. Ramah, ya, keramahan yang akan hilang dalam beberapa detik kemudian. Itu yang aku percaya.
                Aku, Shen Bao Yue atau sekarang menjadi Kang Yoo Riem, adalah murid baru tingkat dua di sekolah ini. Pindah dari Beijing sebulan yang lalu dan sekarang menetap di Seoul dan bersekolah di Sangwon middle school. Sekolah yang asing, kota yang asing, dan orang-orang yang asing. Maka yang ku harapkan hanya segera sampai dirumah dan bertemu dengan mereka yang ku kenal.
                Namun sepertinya hari ini tidak sesuai dengan dugaanku, sesuatu terjadi dan mengubah pandanganku.
*End of Yoo Riem POV*
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
*Jong In POV*
                Aku sudah sampai di depan gerbang sekolah ketika aku menyadari bahwa aku meninggalkan dompetku di dalam kelas. Aku pun melangkah masuk kembali dengan langkah berat dan rasa sedikit kesal karena harus menaiki tangga lagi. Namun aku tak punya pilihan lain selain menaiki tangga-tangga itu sambil membodohi diri sendiri karena keteledoranku.
                Ketika kedua kaki ku sudah membawaku berada di depan pintu ruang kelas, aku pun segera membukanya dan masuk. Namun pandanganku teralih sebentar dengan seorang gadis yang sedang berdiri di depan meja guru dengan setumpuk buku yang berada dimeja, dan kemudian aku ingat bahwa ia adalah murid baru yang tadi diminta songsaengnim untuk mengumpulkan buku catatan murid-murid kelas.
                Ia mengalihkan wajahnya kearahku sebentar lalu memberi senyum, aku pun membalasnya. Lalu aku melangkah menuju meja-ku dan mengambil dompetku yang tertinggal di laci meja, dan segera beranjak keluar kelas, aku sudah tak sabar ingin sampai dirumah rupanya.
                Sebuah suara benda jatuh yang cukup keras terdengar ketika aku baru saja keluar dari ruang kelas itu, dengan segera aku menoleh kembali untuk melihat benda apa yang terjatuh. Dan yang ku temukan adalah gadis tadi terjatuh  dan setumpuk buku catatan tadi berserakan di lantai.
                Dengan secara refleks aku menghampirinya “Gwenchana?” Tanyaku sambil memegang bahunya.
                “Gwenchana.” Jawabnya sambil tersenyum.
                Mendengar kata itu sudut-sudut bibirku pun terangkat membentuk sebuah senyuman. “Syukurlah.” Ujarku.  “Biar kubantu kau membawa ini semua.”  Dan aku pun memunguti buku-buku catatan yang berserakan itu.
                “Ah, terima kasih.” Ucap gadis itu lalu ia pun mulai memunguti buku-buku itu juga.
                “Sama-sama.” Jawabku lalu kembali memberinya senyum. Sepertinya hari ini aku tersenyum lebih sering dibandingkan biasanya.
                Setelah kami berhasil memunguti kembali buku-buku itu kami bangkit dan bersiap untuk membawanya menuju ruang guru. Buku-buku ini tidak berat seperti dugaanku, namun entah kenapa gadis itu bisa terjatuh membawanya, apakah itu karena ia terlalu kurus? Hah, entahlah.
                “Ah ya, aku belum memperkenalkan namaku. Kim Jong In.” Ucapku padanya seraya menyunggingkan senyumku, lagi, dan memecah keheningan diantara kami.
                “Oh, Kang Yoo Riem. Senang berkenalan denganmu.”  Balasnya, tak lupa ia juga membalas senyumku.

*End of Jong In POV*

April, 2010
Kyunggi High School

*Yoo Riem POV*
“Kang Yoo~Rieeeem~”
                Teriakan itu bisa kudengar dalam dalam radius tiga meter, teriakan yang hanya dimiliki satu orang di dunia, Kim Jong In.
                “Yoo Riem-ah, kau jahat sekali tidak menoleh.” Ujarnya mengeluh padaku seketika ia sudah berada di sebelahku.
                “Kalau aku menoleh, semua orang akan tahu bahwa aku berteman dengan tarzan.” Ujarku padanya, dan kemudian satu lengan milik Jong In sudah melingkari leherku.
                “Kau bilang aku tarzan? Hah? Coba kau ucapkan lagi.” Ujarnya, masih melingkari leherku dan kemudian jari-jari tangannya yang bebas menggelitiki pinggangku. Skak mat.
                “Jong In!! Stop stop, hentikan tolong. Muahahaha Jong In-ah..  jebal….” Pintaku disela-sela tawa dan kegelianku serta berusaha keluar dari kekangannya. Entahlah apa yang orang-orang pikirkan ketika melewati kami berdua yang sibuk sendiri di tengah-tengah koridor sekolah.
                “Panggil aku Tuan Muda Kim Jong In, maka kulepaskan kau.” Katanya padaku dengan masih terus menggelitiki pinggangku.
                Dengan masih menggeliat dan tertawa disertai teriakan kecil aku berusaha menjawabnya. “Baiklah baiklah…” Kalimatku terhenti dengan teriakan lagi karena Jong In menggelitiki pinggang belakang yang merupakan titik lemahku. “Jong In Stop!! Tuan Muda Kim Jong In  stop!!” Fuuh, akhirnya aku bisa mengucapkannya.
                “Yak, bagus sekali.” Ujarnya dan nyengir kepadaku.
Kurasakan sudah tidak ada lagi tangan yang menggelitikiku, namun sebuah lengannya masih berada di leherku. “Hei kau, lepaskan dong. Masa aku harus berjalan seperti ini.” Ujarku mengeluh padanya sambil berusaha menyingkirkan lengan itu.
                “Baiklah baiklah.” Lalu Jong In pun menyingkirkan lengannya dariku. Akhirnya aku bebas juga.
                “Ya! Kim Jong In, kau ini sudah sukses membuat kita menjadi bahan tontonan satu sekolah lagi hari ini.” Keluhku padanya, mengingat pandangan aneh siswa-siswa lain kepada kami tadi.
                “Eh? Biarkan saja, siapa tahu nanti kita bisa lebih terkenal dibandingkan DBSK.” Jawabnya santai disertai cengiran khas miliknya.
                “Kau ini pagi-pagi sudah membentur tembok rupanya.”
                Ia tak membalas, hanya kembali nyengir.
                Lalu dengan tiba-tiba ia menggenggam lenganku “Lihat, satu menit sebelum bel dan kita masih harus berlari menuju gedung sebelah untuk sampai ke kelas.” Ujarnya seraya menunjukkan jam tangan digitalnya. “KAJJA!!” Dan sesaat setelah teriakan itu Jong In menarik lenganku dan berlari sepanjang koridor menuju gedung sebelah. Aku yang kaget hanya bisa menyeimbangkan langkahku agar tidak terjatuh ketika ditarik oleh makhluk ini.
                Ah ya, sepertinya aku lupa memberi tahu bahwa Kim Jong In yang saat ini menarikku adalah Kim Jong In yang sama dengan Kim Jong In yang menolongku ketika aku menjatuhkan buku-buku catatan empat tahun yang lalu. Kim Jong In yang sudah bersama denganku selama empat tahun.Kim Jong In yang mampu merubahku dalam waktu empat tahun. Kim Jong In yang menjadi sahabatku selama empat tahun. Dan mungkin Kim Jong In yang akan terus bersamaku nantinya. Mungkin…..
Agustus, 2010
“Ne, Jong In-ah. Kau janji datang kerumahku hari ini kan?” Tanyaku pada Jong In ketika songsaengnim sudah keluar kelas dan kami semua sudah mulai berhamburan keluar.
                “Eh?” Ia menatapku dengan kaget. “Benarkah? Astaga, hari ini aku sudah berjanji kepada Min Ja ingin menemaninya membeli kado untuk kakaknya.” Ujarnya padaku, terlihat sorot mata bersalah itu ketika mengatakannya kepadaku.
                Aku memaksakan diriku untuk tersenyum meskipun aku merasa sedikit ‘sakit’ mendengar jawabannya, menyadari mungkin ia sudah mulai melupakanku.
                “Kalau begitu tidak apa-apa, kau bisa kerumahku lain kali.” Ujarku, masih memamerkan senyum palsu itu.
Min Ja adalah teman satu klub Jong In yang sangat dekat dengannya. Hm, entahlah, aku mengenal Jong In lebih lama namun sepertinya kedua orang itu ‘sangat’ dekat seperti menempel satu sama lain. Ya, Min Ja dan Jong In, bukan Yoo Riem dan Jong In.
  Dan saat itu juga keyakinanku akan ‘teman’ yang dulu kuyakini kembali menyergap pikiranku. Aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Aku takut.

Desember, 2010
                Kemarin adalah malam natal dan aku hanya merayakannya bersama Eomma dan MinHyuk Oppa. Kami menelepon Appa yang sedang dalam pelayaran menuju Rusia dan mengucapkan selamat natal padanya. Senang? Tentu saja, banyak makanan dirumah dan berkumpul bertiga seperti ini sangat jarang sekali terjadi.
                Ponselku berbunyi menandakan sebuah pesan masuk, aku pun merogoh saku celana panjangku dan mengeluarkan ponselku. Sebuah Email masuk, dari Kim Jong In.

                “Selamat natal! Merry Christmas :D”
Hari ini aku pergi berbelanja kado natal bersama Min Ja, dan aku menemukan pohon natal putih ini. Dan aku teringat tentang ucapanmu yang ingin membeli pohon ini ketika natal tahun lalu, maka aku mengirimkan fotonya. Bagus tidak? Hehe – Kim Jong In
               
Sebuah pesan yang disertai dengan foto pohon natal putih yang berhiaskan hiasan bola-bola biru dan  lampu kelip yang indah. Aku tersenyum melihat foto itu, mengetahui bahwa Jong In masih mengingat tentang pohon natal putih yang dulu kami rencanakan untuk membelinya bersama.
                Ya, ia ingat tentang pohon itu. Namun tidak ingat bahwa aku ingin kami berdua yang membelinya.

Januari ,2011
                Sudah lima bulan aku dan Jong In mulai menjauh, dan Min Ja sepertinya sudah menggantikan posisiku sebagai sahabat dekatnya, atau bisa dibilang, kekasihnya. Ya, mereka berdua sudah berpacaran sejak malam natal.
Mengenai kami berdua… Kami sekelas dan yang kami ucapkan satu sama lain hanya ‘hai’ dan ‘bye’ selama sekolah. Tentu saja kami membicarakan hal-hal lain seperti pelajaran misalnya, namun tidak seperti dulu. Bahkan terkadang ia hanya menjawab pertanyaanku hanya dengan satu atau dua kata saja. Dan aku merasa bahwa ia tidak ingin berbicara denganku.
                Banyak murid-murid di kelas kami yang menanyakan mengapa aku dan Jong In menjauh, dan aku hanya menjawabnya dengan ‘Tidak ada apa-apa.” Dan “Kami masih berteman.”. Lalu mereka mulai ‘berdiskusi’ tentang bagaimana kehadiran Min Ja bisa menjauhkan kami berdua. Aku tidak ingin berkomentar apapun, diam adalah yang terbaik.
                Tentu aku merasa kehilangan, namun aku tidak akan bersedih ataupun menangis nantinya. Karena pada akhirnya yang kupercayai bahwa semua orang hanya berbaik hati di awal dan selalu memasang topeng, sudah terbukti benar.
                Aku percaya akan hal itu, namun aku merasa salah……

Maret, 2011
                Jong In datang kerumahku pada pukul 9 malam ini, begitu aku membukakan pintu untuknya ia melontarkan senyumnya yang terlihat canggung. “Bisakah aku meminta waktumu sebentar?” Tanyanya padaku, ia menatapku dengan mata sendunya.
                Ragu. Itu yang kurasakan. Apa yang harus kujawab? Apakah lelaki ini hanya datang padaku ketika ia membutuhkan bantuan? Apakah sesuatu membentur kepalanya dan membuatnya lupa bawa ia sudah menjauh dariku selama berbulan-bulan? Namun mata itu membuatku tergerak, mata yang sama dengan mata Kim Jong In yang pertama kali kukenal. Mata ramahnya itu. Dan juga, aku tidak bisa memungkiri bahwa hatiku ikut tersayat melihatnya wajah cemasnya. Aku tidak bisa menghentikan diriku untuk memikirkan apa yang terjadi padanya. Aku khawatir.
                “Tentu, silahkan masuk.” Jawabku, mempersilakannya.
                Ia menatapku, lalu tersenyum. “Terima kasih, Yoo Riem-ah.” Ujarnya.
Telak. Senyum itu membuatku terdiam. Aku tidak bisa memungkirinya… aku rindu senyum itu. Aku rindu lelaki dihadapanku ini.
Aku menunduk, tidak berani membalas senyumnya. Kubiarkan Jong In melewatiku, ketika ia sudah berada di dalam aku pun menutup pintu.
“Duduklah.” Ujarku, ia mengangguk lalu duduk di sofa ruang tamu rumahku ini.
 “Kau ingin minum sesuatu, Jong In-ah?” Tanyaku padanya, entah, rasanya sudah lama sekali aku tidak memanggil nama ini. The name that I used to call everyday. Months ago.
“Tidak, aku hanya mampir sebentar… duduklah, aku ingin bicara.” Ujarnya, aku pun menurutinya, aku duduk persis di hadapannya. Makin terlihat jelas wajah cemas dan sedihnya itu. Pedih hatiku melihatnya.
                “Ada apa, Jong In-ah?” Tanyaku pada akhirnya, kuberanikan diri untuk menatapnya.
Ia balas menatapku dalam-dalam. “Mianhae…” Ujarnya.
Aku terdiam. Mulutku bagai membisu, dan bisa kurasakan air mata yang mulai memaksa untuk menyeruak keluar, aku pun berusaha sekuat tenaga untuk menahannya tidak tumpah keluar.
“Maaf untuk apa?” Tanyaku pada akhirnya sambil menunduk, tidak berani menatapnya.
“For everything. Untuk semua yang telah kulakukan padamu selama delapan bulan terakhir.” Ujarnya dengan suara yang dipenuhi rasa bersalah, aku tahu itu.
“Oh… Apakah sesuatu terjadi antara kau dan Min Ja?” Tanyaku, masih tidak berani menatapnya. Tentu aku tidak habis fikir apa yang membuat Kim Jong In datang kesini dan meminta maaf padaku secara tiba-tiba tanpa ada alasan yang jelas. Aku yakin ada sesuatu yang terjadi antara ia dan MInJa.
Jong In menghela nafas, ia menyandarkan punggungnya pada sofa. Begitu banyak ekspresi yang tergambar di wajahnya. “Banyak hal yang terjadi. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana untuk memulai menceritakannya.” Ujarnya dengan lesu.
“Tidak apa, kau bebas mengambil waktuku meskipun itu menghabiskan sepanjang malam.” Ujarku padanya, ya, aku tidak bisa tahan melihat Kim Jong In dengan wajah sesedih ini. Juga, tidak bisa kupungkiri rasa penasaran ini.
Ia tersenyum kecil sembari menatapku. Ia pun menghela nafas, lalu berucap. “Kami berpisah. She’s cheating on me.”
                Aku terdiam beberapa detik, lalu mulai tersenyum.
                “Gwenchana yo.” Ujarku sembari memberi senyum padanya.
                Lalu ia membalas senyumku dan memelukku kembali selama beberapa detik. Dan malam itu Jong In menghabiskan sepanjang malam untuk menceritakan semuanya yang terjadi antara dirinya dan Min Ja. Dan malam itu pula aku kembali menganggap ‘keyakinanku’ salah.


April, 2010
                “HAH? Kau bilang apa? Lolos audisi? SM Entertainment? Trainee? HAH??” Rentetan pertanyaan-pertanyaan inilah yang keluar dari mulutku ketika Jong In baru saja menyampaikan suatu kabar padaku. Mataku membelalak kaget dan ekspresi kekagetan masih melekat di wajahku. Bisa kurasakan seisi kafe memandang ke arah kami, suaraku terlalu besar rupanya.
                “Sssstt, jangan berisik, lihat itu orang-orang melihat ke arahmu semua. Iya, aku sekarang trainee di SMEnt. Mengapa kau begitu tidak percaya? Memangnya aku kurang tampan dan berbakat?” Ujar Jong In kepadaku.
                Aku terbahak mendengar pertanyaan terakhirnya itu. “Tampan? Berbakat?” Bertahun-tahun aku mengenalmu bakat yang kau punya hanya berteriak seperti tarzan di koridor sekolah.” Ujarku, dan Jong In pun semakin manyun mendengarnya.
                “Huh, kau ini, temanmu mendapat kabar gembira mengapa di tertawakan.” Ucapnya seraya melipat kedua tangannya dan memalingkan wajahnya padaku, ngambek rupanya.
                Aku pun kembali tertawa melihat tingkahnya itu. “Hei, sudahlah, wajahmu yang jelek itu jadi semakin jelek kalau kau pasang wajah seperti itu.” Ucapku. “Lagipula, aku hanya kaget karena kau mengabarkan ini secara tiba-tiba. Aku pun tidak tahu bahwa kau ikut audisi, tahu-tahu sudah lolos saja.” Lanjutku padanya lalu mulai menyeruput espresso yang kupesan.
                “Itu karena aku tidak merencanakannya. Sepupuku ikut audisi itu, lalu ia memaksa dan menyeretku ikut audisi juga untuk menemaninya. Lalu ternyata aku lolos, memang susah kalau sudah memiliki bakat menjadi bintang seperti aku ini.” Ujarnya, kembali menyombong, yang kutahu hanya sekedar gurauan belaka.
                Aku hanya tertawa mendengarnya, tak lupa menggelengkan kepala mendengar kalimat-kalimat yang ia ucapkan. Dasar, cowok ini memang konyol dan bodoh. “Well, do your best then. I will support you.” Ujarku padanya, sembari tersenyum tulus.
                Jong In menatapku dan membalas senyumku. “Pasti, I will do my best. Thank you.”
                Aku menaruh cangkir espresso-ku di atas meja kami. Aku memegang tangan kanan Kim Jong In yang ada di hadapanku ini.
                “Eh?” Jong In menoleh kaget ke arahku, ia menatapku, aku pun balas menatapnya. “Ada apa?” Tanyanya bingung.
                Aku nyengir. “Makan siang. Kau yang traktir. KAJJA!!” Ujarku lalu menarik tangan lelaki ini dengan paksa.
                “Eh? Eh? EHHHH??! YA! Kang Yoo Riem!!”

Mei, 2011
*Author POV*
                Kang Yoo Riem melangkahkan kaki-nya menelusuri jalanan, ia baru saja keluar dari stasiun kereta. Sesekali matanya melirik etalase toko-toko yang tersebar disepanjang jalan. Ia tersenyum seraya menghirup udara musim semi yang sangat disukainya.
                Brak!
                Rupanya Yoo Riem terlalu asyik memandangi sebuah mannequin yang memajangkan baju terusan berwarna peach yang cantik sembari berjalan, sehingga tanpa sadar ia menabrak seorang lelaki karena tidak memperhatikan jalanan.
                Lelaki itu dengan sigap menangkap lengan Yoo Riem yang hamper terjatuh karena bertabrakan dengannya. “Gwenchana?” Tanya lelaki itu pada Yoo Riem yang terlihat kaget.
                Yoo Riem mengerjapkan matanya beberapa detik, seakan terdiam kaget. “Ah! Ne, gwenchana.” Ujarnya seraya kembali berdiri tegak. “Maaf, aku yang tidak memperhatikan jalanan tadi. Maaf.” Yoo Riem pun membungkukkan badan pada lelaki itu.
                Lelaki itu tertawa, lalu berujar “Tidak apa-apa.”
                Yoo Riem tersenyum padanya. “Ah baiklah, kalau begitu.. saya permisi dulu.” Ujarnya lalu mulai melangkah menjauh.
                “Hei! Tunggu sebentar!”
                Yoo Riem pun berhenti dan menoleh, mendengar lelaki itu memanggilnya. “Ada apa?” Tanya Yoo Riem dengan bingung.
                “Kau…. Mau kah kau menolongku?” Tanya lelaki itu dengan serius.
                “Eh?”

Seminggu kemudian….
                ”Apa? Model? Kau bercanda? Bagaimana bisa??”  Kalimat-kalimat Tanya penuh kekagetan itu berasal dari seorang Kim Jong In yang sedang berada di kediaman Kang Yoo Riem malam itu.
                Yoo Riem menghela nafas, lalu melemparkan sebuah majalah fashion yang baru saja terbit pagi ini. “Lihat saja sendiri.” Ujarnya pada Jong In.
                Jong In pun mulai membuka halaman demi halaman majalah itu, hingga akhirnya sampailah ia pada halaman-halaman yang menampilkan wajah yang familiar baginya. Ya, wajah Kang Yoo Riem, gadis yang berada dihadapannya saat ini.
                “Wow, ini benar-benar kau? Apa tipuan kamera? Photoshop? Atau aku rabun?!” Ujar Jong In berkali-kali.
                Yoo Riem mengambil majalah yang dipegang Jong In dan memukul kepala lelaki itu dengan majalah tersebut. “Kau ini…. Itu memang aku!” Sungutnya.
                “Eh tetapi bagaimana bisa? Jadi lelaki yang kau tabrak itu seorang fotografer? Lalu ia memintamu untuk menggantikan modelnya yang berhalangan hadir hari itu? Lalu kau ditawari kontrak dengan majalah itu? Yang benar saja!” Ujar Jong In panjang lebar, masih tidak percaya dengan kabar yang baru saja sahabatnya ceritakan.
                Yoo Riem mulai kesal. “Ya sudahlah kalau tidak percaya, aku sudah mengatakan sejujurnya.” Ujarnya, masih bersungut.
                “Hei, baiklah, aku percaya. Lalu sekarang bagaimana? Kau sudah tanda tangan kontrak dengan majalah itu?” Tanya Jong In serius.
                Yoo Riem menggelengkan kepalanya. “Belum. Aku masih pikir-pikir lagi, juga konsultasi kepada keluargaku.” Jawabnya.
                Jong In menatap gadis di hadapannya itu lekat-lekat. “Baiklah kalau begitu, pikirkanlah dengan matang. Kesempatan emas ini tidak datang dua kali, namun kau juga harus memikirkan apakah jalan ini yang benar-benar kau ingin jalani. Jangan sampai menyesal nantinya.. Apapun keputusanmu nanti, aku akan tetap mendukungmu. Bila kau butuh bantuan, kau sudah tahu harus menghubungi siapa..” Ujar Jong In sambil tersenyum pada Yoo Riem.
                Gadis itu tersenyum. “Gomawoyo, Jong In-ah.”

November, 2011
                Sabtu pagi itu, Yoo Riem baru saja selesai mandi ketika ia mendapat telefon dari kantornya bahwa ada pemotretan dadakan yang mengharuskannya datang hari ini dalam beberapa jam. Yoo Riem yang tidak mempunyai pilihan lain selain datang ke lokasi pemotretan hanya bisa bersungut. Ia terpaksa membatalkan janjinya dengan Jong In hari itu, padahal Yoo Riem sudah sangat menantikan makan siang bersama lelaki itu.
                Yoo Riem meraih ponselnya, bersiap menelefon Jong In dan mengabarinya bahwa ia tidak bisa makan siang bersamanya. Ponsel Yoo Riem berbunyi sebelum gadis itu membuat panggilan, sebuah telefon masuk rupanya, dari Kim Jong In.
                “Yeobosseyo?” Jawab Yoo Riem.
                “Yoo Riem-ah, maaf!”  Ujar Jong In padanya dari seberang sana.
                “Eh? Kenapa?” Tanya Yoo Riem dengan bingung.
                “Maaf, aku tidak bisa makan siang bersamamu hari ini. Tiba-tiba saja aku dipanggil untuk rekaman lagi hari ini.” Ujarnya, nada cemas dan bersalah bisa terdengar dari suaranya.
                “Ah, gwenchana.. aku juga baru saja mendapat pekerjaan dadakan. Ada pemotretan hari ini, dan harus segera menuju lokasi. Aku baru saja akan menelepon mu, tetapi kau sudah telefon duluan.” Jawabnya.
                “Ah, begitukah? Rupanya memang kita belum bisa bertemu hari ini. Baiklah, mungkin lain kali kita bisa makan siang bersama.” Ucap Jong In.
                “Ya, semoga. Aku harus segera siap-siap pergi.. jadi, sampai nanti. Semoga rekamanmu lancar.”
                “Ah, Yoo Riem-ah!” Panggil Jong In sebelum gadis itu memutuskan sambungan telefon.
                “Ne?”
                “Aku….. entahlah….. Kau juga ya.. semangat dengan pekerjaanmu.  Aku.. pasti selalu mendukungmu. Aku senang melihat kau sedikit demi sedikit meraih puncak popularitas, aku senang semua usaha kerasmu berbuah hasil. Aku juga sedang berusaha, sebentar lagi aku akan debut.. kuharap, aku bisa menyusul kesuksesanmu, atau mungkin melampauimu. Jadi kau harus berusaha lebih keras lagi agar bisa menyeimbangiku atau melampauiku lagi nanti..” Ujar Jong In panjang.
                Yoo Riem terdiam. “Kau membentur dinding lagi ya pagi ini?” Ujarnya sambil tertawa. “Baiklah baiklah, aku harap debutmu akan sukses, dan aku akan terus berusaha agar kau tidak bisa semudah itu melampauiku. Tidak perlu khawatir, Jong In-ah.” Ujar gadis itu, tersenyum.
                Yoo Riem bisa mendengar tawa Jong In di seberang sana. “Baiklah, jaga dirimu. Nanti pasti kita akan makan siang bersama, kukabari nanti. Sampai nanti.” Ujar lelaki itu.
                “Arasseo, sampai nanti.” Ucap Yoo Riem dan sambungan telefon itu terputus.
                Ya, sampai nanti… mungkin. Batin Yoo Riem.

Maret, 2012
                Hari itu Yoo Riem berdiri diantara banyak kerumunan-kerumunan orang yang di dominasi oleh cewek-cewek muda yang sedang ribut mengobrol dengan penuh antusias. Di hadapannya, sekitar seputuh meter di depan, ada sebuah panggung besar dan megah yang masih terlihat kosong.
                Ya, hari ini adalah hari yang telah lama Ia tunggu-tunggu. Sebuah hari besar, dimana seorang Kim Jong In akan debut bersama grup barunya, EXO. Yoo Riem menyapu pandangannya pada sekeliling, begitu banyak orang, sangat banyak. Rasa kekagetan itu sudah di rasakanya semenjak mengantri untuk masuk menuju area showcase ini.
                Kalau seperti ini sih, sudah jelas dia akan mudah sekali melampauiku. Ujar Yoo Riem dalam batinnya.
                Yoo Riem menghela nafas dan membetulkan letak kacamata palsu-nya itu. Ya, Yoo Riem datang sebagai penonton biasa, ia tidak duduk di kursi VIP dimana banyak artis lain biasanya ditempatkan. Yoo Riem memang mendapat tiket undangan dari Jong In, namun ia tidak menggunakannya dan memilih untuk membeli tiket biasa dan berbaur dengan penonton lainnya. Dengan ekstra hati-hati dalam menyamar tentunya jika ia tidak mau orang-orang menyadari kehadirannya.
                Ya, nama Yoo Riem, atau yang kini lebih dikenal dengan Shen Yue , memang sudah booming di korea. Wajahnya kini sudah tidak hanya mewarnai majalah-majalah fashion, tapi sudah mulai menghiasi layar kaca dan billboard-billboard besar di kota Seoul sedikit demi sedikit. Panggung catwalk pun sudah dijalaninya, namanya kini sudah berada dalam list model papan atas.
                Yoo Riem sendiri tidak menyangka bahwa popularitas dapat diraihnya dengan lancar dalam kurun waktu kurang dari setahun. Luck is with me. Satu kalimat yang selalu ada dalam batinnya ketika ia menyadari semua yang telah diraihnya kini.
                Yoo Riem kembali mengalihkan perhatiannya kepada panggung besar nan megah di hadapannya itu. Lampu-lampu mulai dimatikan, tanda bahwa showcase ini akan segera dimulai. Yoo Riem melekatkan pandangan pada panggung besar itu, antusiasnya ikut berbaur bersama antusiasme ribuan penonton lainnya.
                Lalu mulailah lampu-lampu di panggung menyala, bergantian, berbagai efek cahaya bermain dengan indahnya. It’s show time.  Dan dari panggung tersebut munculah lelaki-lelaki dengan kostum yang bagus, wajah-wajah yang tampan, penuh ketegangan tetapi senyum tetap melekat pada wajah mereka.
                Yoo Riem tersenyum ketika pandangannya menangkap sosok yang dikenalinya, Kim Jong In.
                “Annyeong Haseyo, EXO imnida!”
                Dan seisi ruangan besar ini pun bersorak gembira.

Seusai Showcase…
                Yoo Riem berjalan menuju backstage , dua orang security menghadangnya. Yoo Riem membuka topi dan kacamatanya, lalu menunjukan tiket undangan yang ia miliki. Dua security tersebut saling pandang, namun pada akhirnya mereka berdua menyilakan Yoo Riem untuk masuk. Yoo Riem pun tersenyum pada mereka berdua.
                Yoo Riem meraih ponselnya, dan memanggil nomor seseorang yang ada di kontaknya, Kim Jong In.
                “Yeobosseyo?” Jawab Jong In di seberang sana.
                “Ini aku, keluarlah, aku ada di ruang tunggu depan backstage.” Ujar Yoo Riem singkat dan jelas.
                “Eh? Baiklah, tunggu sebentar.” Jawab Jong In dan mematikan sambungan telefon.
                Tak lama kemudian tampaklah Jong In menghampiri Yoo Riem. Yoo Riem tersenyum melihat sahabatnya itu, wajahnya terlihat sangat lelah, namun juga sangat bahagia sehingga senyum itu tidak terlepas dari wajahnya, tidak sedetik pun.
                Yoo Riem melangkah dan memeluk lelaki tinggi tersebut. “Selamat! Kau keren sekali di panggung tadi! Aku bahkan sempat berfikir mungkin mataku rabun, sehingga kau terlihat tampan sekali diatas sana tadi!” Ujarnya sambil terus memeluk erat lelaki tersebut.
                Jong In tertawa dan membalas pelukan gadis itu. “Hei, sudah kubilang kan, aku ini tampan dan berbakat. Kau saja yang tidak pernah mau mengakuinya.” Ucapnya. “Dan.. terima kasih sudah datang dan menonton.” Ujarnya lagi, sambil tersenyum.
                Yoo Riem melepaskan pelukannya dan tersenyum kepada laki-laki itu. “Dasar, kau ini sepertinya hobi sekali membenturkan kepala ke dinding ya? Sampai-sampai berbicara sepert ini hampir setiap hari.” Ujarnya dan hanya dibalas tawa oleh Jong In.
                “Malam ini aku harus terbang ke Beijing, karena besok adalah debut showcase kami. Aku sangat lelah, tapi semangatku seperti tidak ada habisnya.” Ujar Jong In.
                Yoo Riem tersenyum. “Sibuk sekali rupanya superstar satu ini.” Ucapnya. “Jong In-ah…. Aku…. Ingin mengatakan sesuatu….” Ujar Yoo Riem pelan, raut wajahnya berbeda dari yang sebelumnya.
                Jong In yang heran dengan ekspresi gadis di hadapannya yang berubah itu pun bingung. “Ada apa Yoo Riem-ah?” Tanyanya, cemas.
                “Aku… akan pindah ke Macau.” Ujar Yoo Riem, pelan.
                “Apa? Kau….. serius?” Jong In berucap, tidak percaya.
                Yoo Riem menghela nafas. “Ya...” Jawabnya pelan. “Ibuku dipindah tugaskan lagi, dan juga, bos-ku memberikan tawaran padaku di Macau, kontrak selama dua tahun dengan majalah disana.” Ujarnya. “Aku pindah besok pagi, kau sangat sibuk selama beberapa bulan terakhir untuk debut ini. Jadi aku sangat susah untuk mengontakmu. Maaf jika aku memberi tahumu seperti sangat mendadak, maaf sekali.” Jelas Yoo Riem.
                Jong In terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
                “Jong In-ah, keep doing your best. I will always watching you, even if I can’t stand by your side if you need me. But you will always have my time for a phone call.” Ucap Yoo Riem. “Melihat banyaknya penonton hari ini, dan melihat bagaimana kau sukses menghipnotis gadis-gadis cantik, kurasa… kau telah melampauiku, mungkin.” Ujarnya. “Namun, aku tidak akan diam dan mengagumimu saja, Jong In-ah.. aku pun akan tetap terus berusaha, berusaha agar kau tidak melampauiku terlalu jauh, lalu terus berusaha hingga kau tidak bisa melampauiku.” Jelasnya panjang.
                Jong In tersenyum tipis. “Optimis sekali... aku pun akan terus berusaha. Maaf, besok aku tidak bisa mengantarmu di bandara.  Kuharap kau tidak keberatan..” Ujarnya pada Yoo Riem.
                Ýoo Riem tersenyum. “Tentu saja, tidak masalah.” Ucapnya. “It’s time to say goodbye then..” Ujar Yoo Riem, lalu gadis itu memeluk lagi lelaki di hadapannya, erat. “I will miss you, stupid.” Ucapnya.
                Jong In balas memeluk gadis itu. “Yoo Riem-ah, bolehkah aku mengatakan sesuatu?” tanyanya pelan.
                “Tentu, silakan.” Jawab gadis itu.
                Jong In menghela nafas, ia memejamkan matanya lalu meng-erat-kan pelukannya pada gadis itu. “Aku mencintaimu, Kang Yoo Riem.”
                Yoo Riem terdiam, tidak bersuara. Tidak juga melepaskan pelukannya. Kekagetan dapat dilihat dari ekspresi wajah gadis cantik itu. Cukup lama mereka berdua terdiam, hingga pada akhirnya Yoo Riem membuka mulutnya. “Aku juga mencintaimu, Kim Jong In.” Ujarnya, lalu sebulir air mata jatuh di pipinya. “Tapi, kau tahu.. kita sudah memiliki jalan yang harus di tempuh. Susah bagi kita untuk melangkah bersama.” Lanjutnya.
                Jong In terdiam, gadis itu melepaskan pelukannya. Ia menatap Jong In, matanya masih berkaca-kaca, tetapi ia berusaha sebisa mungkin untuk menahan tangisannya.
                “Aku mengerti, sangat mengerti.” Ucap Jong In. “Oleh karena itu, melangkahlah sendiri, aku tidak aka nada dibelakang untuk menangkapmu jika kau terjatuh, berjalanlah dengan kedua kakimu sendiri. Aku pun akan melakukan hal yang sama. Berjalanlah, hingga kau menjadi satu diantara banyak bintang terang di luar sana. Dan mungkin suatu saat nanti, aku akan bisa bersanding denganmu.”  Ujar Jong In pada gadis itu.
                Yoo Riem menatap lelaki itu, air mata yang ditahannya kini jatuh berlinang. Namun ia tersenyum. “Bodoh, tanpa kau memberitahuku aku pasti akan melakukannya.” Ujarnya pada lelaki itu.
                Mereka berdua tersenyum, namun kesedihan dapat terpancar jelas dari kedua orang tersebut. “Well, I will wait. Aku akan menunggu, menunggu saatnya kau dan aku bisa besanding bersama, Kim Jong In. Aku pun akan berusaha untuk menjadi salah satu diantara bintang terang di luar sana, atau mungkin, aku akan menjadi yang paling terang diantara semua bintang yang ada.” Ujar Yoo Riem.
                Jong In tersenyum. “You are the brightest star for me, always.” Ujarnya.
                Yoo Riem menatap kedua mata lelaki itu, kembali ia berusaha menyunggingkan senyum. “Good bye then, Jong In-ah.” Ujar Yoo Riem, dan ia pun melangkah pergi meninggalkan ruangan tersebut. Meninggalkan Jong In yang masih terdiam menatapi punggung gadis itu yang semakin menjauh. Menjauh dari jangkauannya. Menjauh dari pelukannya.

No comments:

Post a Comment